Refleksi dalam Harmoni

Dokumentasi Komunitas Biola Situbondo


Rojhâk palappa mellè è Paoan ~ Jha’ loppa ka para pahlawan
Oleh : Moh. Imron
Malam masih dini, saya pun tiba di taman makam pahlawan Situbondo, menghadiri hajatan mas Wahyu Aves bersama Komunitas Biola Situbondo yang bertajuk “Refleksi dalam Harmoni 2”. Malam itu bertepatan pada tanggal 17 Agustus 2018.
Di jalan tampak sepi, belasan kendaraan terparkir di depan pintu makam pahlawan. Saya melintas di tengah-tengah makam pahlawan. Pandangan saya pun tertuju pada panggung. Delapan anak sedang gladi kotor diiringi piano, penonton masih belum berdatangan, hanya sebagian pengisi acara dan keluarga dari anak-anak yang mentas―barangkali merangkap menjadi panitia. Ada Mas Agus, Bu Sri Lambang, d-elel. Dan saya bersalaman. Berbincang-bincang.
Acara dimulai pada pukul 19.24 WIB. Peserta undangan sudah berdatangan. Terdiri dari komunitas kreatif di Situbondo. Terbatas. Saya duduk di depan panggung, beralaskan tikar. Disuguhi olah-olahan tradisional. Yang tak tak kalah penting juga disediakan kopi. Sempurna. Kawan saya, Tyas duduk bersila, serius dalam mencicipi segala suguhan yang disukai―sebelum dia sibuk mendokumentasikan momen-momen penting.
Kegiatan diawali dengan berdoa untuk para pahlawan. Kemudian dilanjut dengan menyanyikan Indonesia Raya bersama-sama.
Latar belakang panggung menggunakan latar yang memang sudah ada di makam pahlawan; monumen garuda, bambu runcing dan ditambah bendera merah putih. Di depan panggung juga dihiasi bunga-bunga dan lampu.
Kegiatan ini sebagai ruang ekspresi, ruang evaluasi tentang capaian selama dua tahun Komunitas Biola Situbondo, begitu kata Mas Wahyu Aves dalam sebagian sambutannya. “Sekaligus sebagai kegiatan tahunan, untuk mengenang apa yang lalu, sambil berbuat apa di masa depan. Mengisi dengan apapun yang dimiliki, sekecil apapun yang kita bisa,” lanjutnya.
Pak Jefri sekaligus mewakili Dewan Kesenian Situbondo, memberikan semangat kepada anggota komunitas biola, serta mengapreasi kegiatan ini.
Dan acara ditutup dengan doa.
Kini memasuki acara inti.
Eh, sek dulu, gak jadi.
Saya mau mengingat apa-apa yang sudah berlalu.
Ya. Hari sebelum-sebelumnya, saya pernah menyimak Komunitas Biola Situbondo sedang berlatih setiap hari Minggu sore di alun-alun. Saya juga pernah menyimak di Festival Kampung Langai, dan panggung lainnya. Saya sangat mengpresiasi sekali terhadap perjuangan komunitas biola ini. Sementara untuk acara tahun lalu, saya tidak sempat menyimak, tapi paling tidak saya bisa membaca tulisan di takanta KomunitasBiola Situbondo : Sebuah Capaian dan Tantangan.
Ketika kita tarik semakin jauh ke belakang. Maka kita akan ingat W.R. Soepratman. Adalah sosok yang pertama kali memperdengarkan lagu Indonesia Raya pada kongres pemuda kedua, pada tanggal 28 Oktober 1928 di gedung Indonesische Clibgebouw, Jakarta. Ia memainkan biola tanpa syair.
Kala itu, W.R. Soepratman membawa biola sambil menyodorkan secarik kertas berisi syair lagu kepada sang ketua sidang, Soegondo Djojopoespito. Melihat judul Indonesia Raya, Soegondo segera melirik polisi Belanda yang serius mengamati jalannya Kongres. Jeda sidang, Soegondo menyetujui W.R. Soepratman membawakan karyanya. Tapi syaratnya, tanpa syair.  Alasannya, dalam syair Indonesia Raya terdapat banyak kata Indonesia dan merdeka. Kata-kata yang membuat khawatir akan menimbulkan masalah pada kongres(I).
Biola yang digunakan W.R. Soepratman dengan model amatus, memiliki panjang 26 cm, lebar sisi terpanjang 20 cm dan sisi terpendek 11 cm serta tebal sisi terlebar 6 cm dan terpendek 4,1. Panjang leher biola tersebut 37,2 cm serta penggesek dengan panjang 71,2 cm(II).
Mari kita lanjut―tapi sekilas saja.
Begitulah, anggota Komunitas Biola naik ke panggung. Ada Bintang, Mega, d-kaka deh. Diiringi piano yang dimainkan oleh mas Fajri. Kiranya ada empat lagu kebangsaan yang dibawakan; Tanah Airku, Padamu Negeri, Satu Nusa Satu Bangsa dan Indonesia Pusaka.
Ada banyak potensi yang bisa diciptakan, bersama Komunitas Biola Situbondo. Barangkali dengan bermusik, berkarya adalah salah satu cara mengisi kemerdekaan. Bisa menginspirasi dan bermanfaat serta mengenang para pahlawan Indonesia.
Paling tidak ketika saya di sana membayangkan bagaimana perjuangan melawan penjajah, dulu. Dan mengenang orang-orang yang berjasa dalam kehidupan saya; kedua orang tua, guru, dan kawan-kawan. Maka dari sepatutnya bersyukur, turut mengisi kemerdekaan sesuai kemampuan dan bidang masing-masing.
Giliran penampilan berikutnya diisi dengan musikalisasi puisi, finger gitar, lagu keroncong hampir. Ada pula penampilan dari penonton yang turut hadir di sana. Ada Mas Panakajaya, Dedi, Aurora, Vian, Ali, Kalis, Jejek, Roni, d-elel pokoknya. Dan acara ditutup dengan berfoto bersama.
Dari awal acara hingga selesai, angin selalu berembus cukup kencang, berbagi dingin. Menggigil. Seolah turut serta menyampaikan rasa dan pesan pada saya. Betapa pentingnya menonton bersama seorang kekasih. []

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar