![]() |
Dokumentasi Pribadi |
Ini merupakan pendakian pertama bagi saya. Yang sebelumnya, saya hanya
memandang, membaca dan mendengar cerita-cerita Gunung Ringgit atau dikenal
dengan Gunung Putri Tidur yang terletak di sebelah barat kota, tapi kali ini
saya mencoba menapakinya. Sebelumnya, saya sangat ragu untuk muncak, sebab uang
saku hanya cukup untuk bensin dan parkir motor. Dengan bermodal tekad saya
memutuskan untuk ikut bersama teman-teman seperjuangan.
Oleh : Moh. Imron
Sabtu sore tanggal 19 September 2015, teman-teman sudah berkumpul di
sebelah barat SD 3 Klatakan sambil menunggu teman yang naik kol.
“Pul, kamu ke mana saja?” Aku menghubunginya melalui telepon.
“Aku kan sudah bilang, kalian berangkat duluan. Aku masih menunggu teman
yang dari luar kota.”
Sebelumnya Ipul dan Gian yang men-survey, mereka sudah
berpengalaman ke tempat ini. Tapi mereka tidak ikut pemberangkatan bersama
tentu ini membuat resah teman-teman. Untung salah satu dari teman dari kami sudah ada yang pernah ke sana. Akhirnya teman-teman berangkat setelah azan
Magrib sedangkan sepeda motor dititipkan di rumah warga.
Dalam perjalanan ini, saya melihat pembakaran tumpukan daun di lereng
gunung ini yang dilakukan warga sekitar. Apa tidak mengganggu kelangsungan
hewan dan tumbuhan? Entahlah. Saya terus melanjutkan perjalanan, sesekali saya
dan teman-teman istirahat untuk minum dan mengatur napas yang mulai
tersengal-sengal.
Perjalanan terus di lanjut. Sekitar pukul 19.15 WIB, saya dan teman yang
lain tiba di rumah H. Taufik untuk istirahat sejenak sambil menunggu teman
kloter kedua yang telah sepakat untuk menunggu di tempat ini. Di sini juga ada
rumah beberapa warga, gazebo dan pondok bagi peziarah ke makam Raden Tjondro
Kusumo yang merupakan salah satu wisata religi di Situbondo.
Saya melepas baju yang mulai basah, tak lama kemudian teman-teman mengajak
makan bersama.
“Ayo makan bareng!”
“Yuk.”
Dengan ikan asin dan tempe saya makan sangat lahap. Makan bersama memang
enak, tinggal bungkusnya yang tersisa. Tak lama kemudian Fikri pendaki cilik
yang masih duduk di bangku SD membawa segelas kopi untuk diminum bersama. Tak
lupa pula teman yang lain menawarkan rokok. Benar-benar nikmat. Lumayan buat
menyimpan tenaga untuk naik ke puncak.
Di duduk santai, Ipul juga ada gian bersama rombongan masin-masing sudah
tiba. Sekitar pukul 21.00 WIB semua peserta berkumpul di gazebo. Diskusi ringan
dipimpin oleh Ipul mengenai pendakian berikutnya, juga saling berkenalan yang
kadang diselipkan canda tawa. Pendakian ini diikuti teman-teman pencinta alam
dari Bondowoso, Banyuwangi, Jember, Pasuruan dan Surabaya yang juga tertarik
dengan pesona Gunung Ringgit.
Tak terasa malam semakin larut, jam menunjuukan pukul 23.00 WIB, Semua
teman-teman siap-siap packing untuk persiapan pendakian yang
sebenarnya.
“Kira-kira berapa jam ke puncak?” Tanyaku.
“Dua kali lipat dari bawah ke sini.” Jawab Ipul tanpa ragu-ragu.
Dengan persipan yang sudah cukup, pendakian ini diawali dengan doa supaya
selamat dan tanpa rintangan apapun.
Perjalan yang dipimpin Ipul sebagai komando ini tidak mudah, kami harus
melewati liku terjal bebatuan apalagi di waktu malam dan hanya separuh dari
anggota yang membawa senter. Beberapa orang lain saling menerangi, menjaga di
bagian tengah dan belakang. Kami harus berhati-hati karena banyak bebatuan
besar dan jalan berbahaya apalagi terdapat jurang dan jalannya sangat sempit.
Malam ini, kami hanya disaksikan bulan sabit dan taburan bintang yang
menggantung. Dalam perjalanan, kami sangat bersemangat, napas tersengal,
keringat bercucuran, dingin pun tak terasa malah teman-teman asik bercanda dan
tertawa.
Selang sekitar satu jam, teman-teman istirahat sejenak. Imam salah-satu
teman kami mengeluh, perutnya mual dan pusing.
“Teman kita sakit, ada yang bawa obat?”
“Ini ada promag.” Ujar teman yang membawa obat.
“Ini ada minyak kayu putih.” Sambung teman yang lain.
Saat kondisi Imam lumayan, perjalanan terus dilanjut, perjalanan ini
sungguh melelahkan, kaki semakin pegal. Istirahat demi istirahat sering kami
lakukan sebab dalam anggota kami juga terdapat beberapa perempuan yang
tenaganya lemah, perasaan juga deh.
Perjalanan setapak demi setapak terus kami lakukan. Akhirnya kami tiba di
tanah lapang. Teman-teman sepakat untuk istirahat, sebagian ada yang merebahkan
badan dan tidur. Sedangkan Giant dan Sam menyalakan kompor gasmate untuk
membuat susu, kopi dan teh hangat.
Sam terlihat gaduh, ia memukul-mukul kaleng gas, saya pun kaget, selang
kompornya ternyata bocor, dengan segala cara ia mematikan apinya.
“Ada yang bawa selang lagi?”
“Ada, tunggu sebentar.” Kata slah satu teman kami.
Kami istirahat cukup lama di sini, menikmati sajian minuman hangat dan
bekal yang dibawa. Kami saling berbagi satu sama lain. Sementara penyakit Imam
kumat lagi, beberapa teman mengambil sleeping bag darurat agar
tidak kedingan.
Salah satu teman kami mendirikan tenda. Untuk menjaga Imam yang sudah tidak
mampu untuk melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 02.00 WIB kami melanjutkan
perjalanan dengan santai.
Puncak Ringgit sudah tidak jauh lagi, ditandai dengan adanya tangga
pertama, kemudian disusul dengan tangga berikutnya juga banyak bantuan tali
yang sudah tersedia di perjalanan yang memang susah.
Sekitar 04. 15 WIB, saya dan teman-teman sudah mencapai puncak Gunung
Ringgit.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga.” Gumamku dalam hati.
Capek pun terasa hilang, setelah melihat Situbondo dengan cahaya-cahaya
lampu yang seperti bintang. Subhanallah menakjubkan sekali.
Dulunya saya memandang keindahan Gunung Ringgit, kini saya memandang Situbondo
dari Puncak Ringgit. Meskipun tingginya 1250 MDPL perjalanannya cukup berat
tapi yang paling penting bagaimana cara mensyukuri, menjaga dan melestarikan
ciptaan-Nya.
Di atas puncak terdapat makam yang ditumpuki batu dan nisannya dibalut kain
putih. Saya tidak bisa mengeja nama makam tersebut yang tertulis di batu, tapi
di bawah nama terdapat tulisan “Sumenep Madura”. Makam tersebut dilindungi atap
yang terbuat dari kain, di sampingnya ada bendera merah putih, ada juga
beberapa KTP dan tulisan nama-nama orang berserakan di makam tersebut. Entahlah
apa tujuannya.
Matahari masih belum merayap meninggi di kaki langit. Garis-garis awan
merah membentang di timur. Teman-teman berfoto-foto dan menikmati pesona
keindahan Situbondo. Pemandangan di laut dan daratan mulai tampak jelas,
lampu-lampu pijar mulai redup dan gunung di selatan juga terlihat indah.
Tak lupa pula saya menyapa Sulton yang dari Jember mengenai suasana di
tempat ini. “Dari sini kita dapat belajar, jika perjalan yang sulit tidak
bakalan sia-sia.” Ujarnya.
Selain itu aku juga menyapa teman-teman yang lain.
“Capeknya terobati setelah naik ke puncak Ringgit. Bintangnya ada di
bawah.” Kata teman-teman dari Bondowoso.
“Track-nya mantab, mantab, mantab.” Kata Mas Jek dari Surabaya.
Perlahan matahari mulai menampakkan dirinya. Suasana yang semula dingin pun
berganti kehangatan. Kami menikmati bekal yang masih tersedia. Ada juga monyet
yang menghapiri. Ipul melempari kripik pisang, monyet mengambilnya dan kabur.
Setelah cukup puas menikmati keindahan alam dan bekal yang dibawa. Semua
teman mengeluarkan kresek merah yang sudah disiapkan untuk memungut
sampah-sampah plastik sepanjang perjalanan. Tujuannya supaya jiwa membersihkan
lingkungan menjadi budaya pemuda-pemuda khususnya di Kabupaten Situbondo.
Perjalanan turun tidaklah lama saperti saat mendaki karena hari sudah
terang tapi liku terjalnya tetap sama. Langkah mulai tertatih-tatih, otot kaki
mulai pegal. Tiba-tiba saya melihat Imam naik ke atas.
“Gimana keadaanya?” Tanyaku.
“Sudah sembuh.”
“Kamu terus ke atas, mumpung teman-teman masih turun tangga.”
“Ok.”
Rupanya Imam tetap semangat untuk mencapai puncak.
Saya dan teman berjalan santai. Sesampainya di tenda tempat Imam sakit,
saya melepas lelah. Teman-teman yang tidak tidur semalaman, hari ini
sudah ada yang tepar. Sebagian juga ada yang merebus mie
instant. Sebagian juga ada yang jail memotret teman-teman yang sedang tidur
pulas.
Sekitar pukul sembilan pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju pasarean di
H. Taufik. Entah sudah jam berapa saya tiba di sana yang jelas saya langsung
tidur. Setelah bangun dan mandi saya langsung pulang dan juga pamit sama tuan
rumah.
Begitulah akhir pendakian saya bersama teman Backpacker Situbondo juga
teman-teman dari luar kota. Ini pengalaman yang sangat luar biasa bagi
saya. Bagi yang belum ke sana. Cobain
deh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar