![]() |
Dokumentasi Pribadi |
Catatan
Perjalanan, 26 April 2019
Mulanya saya
sempat kebingungan lokasi kegiatan Kendit Harmoni 2. Beberapa kali saya
menghubungi seorang kawan yang tinggal di Scangan melalui telepon, kebetulan
teman saya lagi keluar jadi dia hanya sedikit membantu ancer-ancernya. Tapi tetap
saja saya bingung arah. Sampai di suatu masjid saya menghubungi Son, katanya
sudah dekat. Ia menyerankan saya bertanya kepada warga. Dan pada akhirnya saya
tiba di lokasi.
Oleh : Moh. Imron
Saat memasuki
lokasi hutan, terlihat umbul-umbul dan terdengar pula sound system menggema mengalunkan
lagu-lagu Banyuwangi. Beberapa tenda berjejer, pun para pedagang kecil rupanya
sudah siap. Para panitia sibuk menyiapkan segala yang dibutuhkan, ada yang memsang
foto-foto, mengangkut perlengkapan dan sebagainya.
Salah satu momen yang
saya tangkap di sana yaitu mengamati matahari ketika perlahan-lahan bersembunyi
di balik gunung, cahayanya ringan. Lalu saya potret, ckreeek. Kala itu saya berdiri di lereng hutan. Angin tak banyak
berembus, dan senja berangsur-angsur redup hingga takluk dipelukan malam.
Hutan yang banyak
ditumbuhi pohon sengon bhuto, masyarakat sekitar menyebutnya Hutan Karabiung. Tempat
inilah yang akan menjadi perhelatan Kendit Harmoni 2 yang diselengarakan pada
tanggal 26-27 April 2019 di Dusun Scangan Desa Tambak Ukir Kecamatan Kendit
Kabupaten Situbondo.
Masyarakat dan
anak-anak sekitar berbondong-bondong untuk menikmati suguhan seni pertunjukan, tentu
saja masyarakat sekitar penasaran. Seperti apa kegiatan pertunjukan Kendit
Harmoni?
Panggung Kendit
Harmoni tidak cukup luas, menghadap ke arah utara, beralaskan dami, sebelah kanan-kiri
terdapat ornamen kain putih-seperti selendang, berjejer, diikat menggunakan
kawat. Latar panggung terbuat dari anyam bambu berbentuk gunung, bertulisakan
Kendit 2 Harmoni dari kulit kayu. Ada pula lampu warna-warni. Di barat panggung
terdapat tenda, tempat berkumpulnya para penampil. Sementara di depan
panggung—agak jauh, tempat para operator, sound sistem. Lebih jauh sedikit ke
utara saat saya melintas ketika pertama tiba, terdapat genset, kebetulan waktu
itu 3 orang penjaganya tidur pulas.
Kegiatan Kendit
Harmoni diawali bincang-bincang santai oleh Son dan seorang perempuan—lupa
namanya, hingga mereka memanggil dua MC; Munawar dan Ocha—nama panggilannya. Keduanya
pun memandu jalannya acara. Pukul 19.30 ketua panitia memberikan sambutan,
dilanjut sambutan Kepala Desa Tambak Ukir, Zainul Hasan.
“Memang sengaja
Kendit Harmoni diundang ke sini agar putra-putri bisa belajar, yang nantinya
bisa sharing pengalaman kepada masyarakat Desa Tambak Ukir.” Kata kepala desa
dalam sebagian sambutannya. Patokan utama kegiatan Kendit Harmoni ialah
keinginan yang kuat, berangkat dari dana seadanya, swadaya warga sekitar, hingga
donator. Walau bagaimana pun ini adalah kreasi seluruh Kecamatan Kendit yang
bisa ditularkan di desa Tambak Ukir, katanya. Kemudian tepat pukul 19.40 WIB
kepala desa membuka secara remi kegiatan Kendit Harmoni 2. Kala itu saya
sendirian, duduk di ompreng sambil menatap panggung.
"Kor bâ'na
senneng, engko' noro' misem". Adalah tema yang diusung dalam kegiatan
Kendit Harmoni 2. Barangkali di sini misi panitia ingin membuat masyarakat Desa
Tambak Ukir terhibur. Maka ketika warga senang maka panitia akan tersenyum.
Bagi saya ini sebagai salah satu upaya merawat tradisi, seni, silaturrahmi,
serta menambah ruang-ruang alternatif dan kreatif, yang tentunya bisa memetik
suatu pelajaran dan pengalaman di dalamnya baik bagi panitia, warga ataupun
siapa saja yang terlibat di sana.
Saya berpindah
tempat ke depan panggung, para warga menonton dari jauh, saya berkumpul sama
anak-anak kecil. Penampil pertama diisi oleh musikalisasi puisi—eh saya lupa
dari sekolah mana, ini personilnya. Ada 5 anggota, mengenakan busana warna
hitam, 3 lelaki memaikan musik, mengenakan udeng, 2 orang gadis berjilbab hitam
yang berpuisi—sepertinya masih belum punya pasangan gaes, maklum saya emang sok
tahu. Membawakan puisi-puisi Kuntowijoyo.
Okay, next, ada Situbondo Beatbox, personilnya ada 4 orang. Khusus
penampil ini ketika saya masih aktif di Breakdance Situbondo beberapa tahun
yang lalu, pernah latihan bareng dan musiknya adalah beatbox. Saya sempat
terhenyak ketika lagu pertama dinyanyikan. Bagi saya ini adalah salah satu cara
merawat kenangan.
ès
lèle cabbhi ayu’ bhi bhitat ngenynyer ayu’ nyer nyerra otang ayu’ tang tangghâl
enem bla bla bla. Sampai saat ini saya masih
menyimpan lirik-lirik lagu itu misalnya seperti contoh lain, Pat jhâlipat bèl bèl bhâlungka’ satoghâl èyompa’
èyombhel malè’ koko komel bla bla bla, atau Sim sim terima kasim-sim simplang mancèng odâng-dâng dâng-dâng wak
uwakan kan bla bla. Sempat kawan saya Ali Gardy saat ngobrol santai bahwa
lagu-lagu itu merupakan rap lokal yang sudah ada sejak dulu.
Dan sepertinya saya
melewati dua band penampil, kala itu saya pindah ke pinggir, bercengkrama
dengan bapak Kepala Desa dan teman saya, Rizal. Bapak kepala desa banyak
bercerita tentang legenda Sri Tanjung dari Banyuwangi, konon pernah dikejar
oleh orang sakti hingga tiba di suatu wilayah Situbondo. Maka Sri Tanjung
merasa nestapa—sakit hati. Ia melampiaskan kesedihannya dengan menembang dan
mengukir di sebuah pohon. Barangkali hanya seperti itu yang bisa dilakukan
untuk memahami hatinya. Tembang Ukir kelak menjadi asal-muasal nama Desa Tambak
Ukir sebagai mana orang Madura kesulitan dalam pengucapan hingga menjadi Tambak
Ukir.
Sekarang kayu
yang diukir sudah roboh tapi situs ukirannya masih ada sampai sekarang yang
berlokasi di Dusun Tambak Ukir. Sampai saat ini bapak Kepala Desa ingin
menggali situs tersebut dan menjadikan desa menjadi tujuan wisata. Tentu bekerjasama
dengan beberapa ahli dalam bidangnya. Sebab menggali situs tradisi Sri Tanjung
ada kaitannya dengan Pojhien Sekar Pahong. Kalau sekarang mirip beatbox, jadi Sekar
Pahong adalah media puji-pujianan, ada tabuhan seperti suara gamelan tapi
menggunakan mulut. Saat ini pojhien ini
sedang dibukukan baik dari gerakan, pakaian dan tembang-tembangnya.
Tahun 1990 pernah tampail di Malang, setelah itu sempat vakum. Saat ini tradisi
Sekar Pahong mulai diangkat kembali sebagai kebudayaan lokal yang sangat kaya
hal mistis, ada sesajen yang harus ada pada saat tampil. Setiap acara desa
wajib menampilkan Sekar Pahong. Dan yang terakhir kalau ingin banyak mengetahui
sejarah Tambak Ukir bisa menemui Bu Mintos, salah satu warga Tambak Ukir.
Eh saya pindah
lagi ke depan panggung. Kini sudah tiba penampilan sebuah tari. Sebanyak 5
anggota gadis mengenakan busana yang didominasi warna hijau muda. Mereka dari
sanggar Kembhâng Moljhâ anak didik Bu Wiwik. Sesekali waktu yang lalu, saya
pernah menonton saat murid Bu Wiwik sedang latihan di kediamannya, sembari
menikmati gorengan dan kopi di pinggir jalan. Penampilan tarinya cukup kompak,
gerakan-gerakan sederhana yang memukau.
Jejek nama
panggilannya yang mengisi acara berikutnya. Jejek membawakan album sendiri.
Bagi saya ini pencapaian yang luar biasa. Setidaknya saya pernah mengamati
tahun-tahun sebelumnya. Ia kerap tampil solo, membawa sapek. Sampai saat dia
sudah mempunyai album sendiri—tapi sayang masih belum punya kekasih. Duh. Duh.
Sementara di
penghujung acara, menampilakan 2 can macanan. Auuuuum.
Sepertinya
beberapa jam lagi udah sampai tengah malam. Saya, Pak Ti, Mas Choky dkk kebetulan
berangkat pulang bareng. Menembus malam dari pelosok.
Di tengah
perjalanan saya teringat sesuatu. Ada yang tertinggal di lokasi acara Kendit
Harmoni. Saya ragu-ragu. Apakah saya akan kembali atau tidak. Tapi saya
melanjutkan perjalanan.
Terima kasih buat
semua suguhan acara Kendit Harmoni yang udah menembang proses kreatifitas dan
semoga akan selalu terukir dalam kenangan—di Tambak
Ukir. []
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar