“Sejarah
selama ini cendrung hanya menyampaikan kisah, fakta, dan peristiwa yang relatif
‘besar’ saja. Bagaimana rakyat jelata membangun desa/kampung secara nyata
jarang dicatat dan diungkapkan”. Iman Budhi Santosa.
Oleh : Moh. Imron
Akhir-akhir
ini saya banyak mengamati kampung halaman, lebih tepatnya desa Trebungan.
Banyak hal—kenangan—menarik yang banyak saya pelajari tentang kebudayaan desa.
Mulai dari tradisi, olahraga, seni, ekonomi, religius, alam hingga manusianya. Pun
pada salah satunya, membawa saya pada salah satu pengrajin topeng.
Kala
itu menjelang siang, mendung menyelimuti Desa Trebungan, hujan seolah masih
belum berencana turun. Bertepatan pada tanggal 3 Desember 2018. Saya dan
Marsuki bersilaturrahmi ke kediaman pengrajin topeng wayang. Terletak di Dusun
Trebungan Krajan Desa Trebungan, Kecamatan Mangaran Kabupaten Situbondo.
Romo
Arsomo, begitu nama panggilannya. Saat menemui beliau, kebetulan sedang santai,
duduk di atas lincak. Romo bersarungan, mengenakan baju berwana hitam, dan
songkok nasional. Wajahnya sudah dihinggapi keriput, menandakan usianya sudah
senja. Meskipun begitu, Romo masih terlihat sehat, segar bugar. Di samping Romo
tergelatak topeng yang sudah dicat, ada yang masih belum dicat, dan tampak pula
peralatan mewarnai topeng.
Romo
Arsomo mempersilahkan kami duduk. Di ruangan tamu yang sempit, terdapat 4
kursi, meja kecil dan lincak. Tak banyak ornamen-ornamen yang menghiasi ruang
tamu kecuali kalender. Romo Arsomo mendiami model rumah Pecinan, dengan pintu
sebelah kanan.
Saya
berkenalan dengan Romo Arsomo, bahwa saya dan Marsuki, kawan saya juga merupakan satu
desa yang sama. Saya juga bercerita tentang can-macanan, di dekat rumah saya.
Tentu saja Romo Arsomo mengenal dengan orang-orang yang saya ceritakan,
orang-orang yang bergelut di kesenian Aremas—seni pertunjukan can-macanan,
lawak dan topeng wayang. Bahwa can-macanan sekarang sudah berganti generasi, didominasi
anak SD, SMP atau sederajat. Saya—nyaris—tidak pernah nonton wayang topeng.
Kecuali kelompok seni Aremas, karena kelompok ini dekat dengan rumah saya,
banyak kru yang saya kenal. Sejatinya saya memang tidak suka nonton acara
wayang topeng, bukan karena mengaggap ketinggalan zaman. Saya termasuk orang
yang selektif dalam memilih hiburan atau pertunjukan. Atau kadang sedang sibuk.
Kelompok
Aremas bisa dikatakan baru yaitu sejak 2011, berdirinya kelompok ini tak lain
hanya untuk menggalang dana. Setiap tanggapan, keuangan digunakan untuk
pembangunan madrasah diniyah. Selama 3 tahun berturut-turut sejak berdiri,
memang banyak tanggapan, hampir setiap hari. Semenjak madrasah selesai, Aremas
mulai vakum, tapi sesekali juga menerima tanggapan.
Sekilas.
Asal mula perkembangan topeng
di Situbondo berasal dari Pulau
Madura. Ditandai dengan munculnya topeng kerte. Menurut Ihwan Ma’ruf Hidayah
topeng kerte lahirnya di daerah Panarukan pada tahun 1953. Nama topeng kerte
diambil dari nama perintisnya, Kerteasuwigyo.
Pertunjukan
topeng kerte di Situbondo umunya diselenggarakan dalam rangka hajatan seperti
khitanan, parlo, toron tana dan rokat.
Topeng Kerte berkembang pesat pada tahun 70-90-an yang ditandai dengan banyak
bermuculan rombongan kerte dan dhâlang
baru dari generasi tersebut seperti Sudi, Sabar, Mattasir, No, Suwono, Nikmat
Suhawi, Kadaryono, Sahir, Tutik, Kusnadi dan Suratin. Begitu menurut Panakajaya
Hidayatullah.
Dulu,
Romo Arsomo juga pernah ikut kesenian topeng sekaligus belajar membuatnya di
Madura. Selain itu ia belajar di Panarukan. Hingga mendapatkan pasangan hidup,
warga Desa Trebungan. Dan sampai saat ini Romo Arsomo bertahan hidup sebagai
pengrajin topeng.
Dalam
sehari Romo Arsomo mampu membuat satu topeng, tapi belum diwarnai. Topeng yang
dibuat Romo Arsomo dengan menggunakan kayu dhaddha’—batangnya berduri. Biasanya
dibeli di percetakan batu bata, sebelum pembakaran. Harga kayu dhaddha’ saat
ini, seharga 25 ribu (2018)
dengan
panjang satu meter. Dalam satu meter bisa dibuat lima karya topeng. Topeng yang
sering dibuat oleh Romo Arsomo ialah topeng Srikandi, Semar, Bagong, Seno,
Januko, Semar, Bolodewo dll. Nah topeng Bolodewo dulu pernah diikutkan lomba
oleh Romo Arsomo di Surabaya, juara 2, katanya. Selain membuat topeng, romo
juga bisa membuat can-macanan.
Romo
Arsomo juga menunjukkan alat-alat membuat topeng, ada peol, kondok, gergaji
dll. Romo Arsomo sempat mengeluh, penglihatannya mulai berkurang. Ketika saya
bertanya bagaimana pembuatan topeng untuk generasi selanjutnya.
“Ada,” Romo Arsomo menimpali
dengan cepat. Anak satu-satunyalah yang akan meneruskan pengrajin topeng yang
sudah ia geluti. Namanya panggilannya Romo Jojo. Akan tetapi menurut pengakuannya
anaknya masih kurang telaten.
“Saya
memulai mengrajin topeng di sini sejak zamannya Sabar.”
“Siapa
Sabar itu?”
“Tunggu
dulu, kamu belum lahir.”
“Niruddin,
Mattasir, Rama Madroso, semuanya merupakan dalang, kemudian turun ke Kadaryono,
ke Sohawi. Sekarang sudah tidak ada.”
Romo
Arsomo sempat menawarkan kopi, tapi saya menolaknya. Saya beranjak ke halaman
samping, di sana saya melihat topeng setengah jadi, tinggal dipahat dan diukir.
Dan saya kembali duduk.
“Bah,
saya ingin membuat topeng asmara.”
“Asmara
ini sampean biar ngerti ya, semuanya
orang senang,”
kata
Romo.
Saya
mencoba menantang Romo Arsomo untuk membuat topeng kreasi atau topeng baru yang
belum pernah dibuat sebelumnya. Seperti kata Romo sebelumnya, bahwa topeng yang
dibuatnya memiliki karakter tersendiri. Misalnya; Seno, galak. Bolodewo membuat
senang dan menangis. Semar, Bagong suka bercanda. Janoko, suka main perempuan.
Sejenak
saya berpikir, kira-kira seperti apa nanti cerita yang akan dibuat. Tapi yang
jelas saya sudah menemukan cerita, kini tinggal memikirkan wacana-wacana atau
inspirasi yang akan diselipkan nanti.
“Supaya yang lihat langsung takjub, bisa Bah?”
“Bisa.
Ini Srikandi, alisnya, bibirnya.”
“Apa
sudah dijazak, Bah?”
“Sudah.”
Saya
dan Romo berjanji untuk bertemu
lagi di lain waktu—entah kapan.
Sementara
saya akan ikut membantu membuat desain semacam ukiran. Tentu saja saya akan
meminta jazak baru atau kolaborasi doa-doa dengan sebutan ‘tapengsor’. Jadi topeng asmara ini saya ingin membuat
topeng yang biasa-biasa saja, topeng asmara itu topeng perempuan. Jika ada
lelaki yang mencela akan jatuh cinta—kira-kira seperti itu sekilas inti ceritanya topeng
asmara, dan
saya masih memikirkan nama topeng baru untuk karakter lelaki. Barangkali suatu
hari, akan dipentaskan di can-macanan Aremas. Dan untuk bentuk wajah topeng saya
saya akan menyerahkan sepenuhnya pada Romo.
Sekilas
yang mengamati dua topeng yang ingin saya bawa pulang. Srikandi dan Bolodewo. Topeng
Srikandi berwarna putih, hidung mancung, mata pesek, bibir merah dan terdapat
ukiran di atasnya. Bolodewo, mata melotop alis dan kumis tebal, hidang mancung,
bibir merah dan terdapat ukiran di atasnya. Bagi saya pribadi karya Romo
biasa-biasa saja, topengnya tidak halus, ada bagian-bagian yang tidak tertutup
warna. Saya memaklumi, mungkin ini faktor usia, alat-alat yang digunakan masih
tradisional, atau mbah memang tidak ada waktu lagi menambah
pengetahuan-pengetahuan lain yang ada hubungannya dengan kualitas topeng. Namun
bagi saya di balik topeng buatan romo ada nyawa yang dihidupi, dinafkahi. Keluarga.
Selain
itu ada berapa banyak topeng yang sudah dibuat Romo, dijadikan alat untuk
berkesenian, baik wayang topeng, tari hingga aksesoris dinding, bagi saya itu
adalah sesuatu yang layak untuk diapresiasi. Mengingat zaman sekarang sudah
jarang peminat. Tapi Romo menunjukkan bahwa topeng masih menjadi bagian penting
dari kehidupannya.
Saya
tidak begitu berlama-lama di kediaman Romo. Ketika kami hendak pulang, Marsuki
ikut menimpali. “Jangan lupa topengnya dijazak,
Mbah, ketika ketemu perempuan bisa langsung dinikahin.”
“Jangan
hanya kamu, kalau bisa saya carikan juga, tapi yang sudah sama-sama tua.”
Saya,
Marsuki1
dan Romo Arsomo menutup perjumpaan dengan saling bertukar tawa. Hahahaha. []
Catatan
1)
8 hari setelah dari Romo Arsomo, Marsuki sedang melaksanakan ijab qobul.
Selamat bro!
Daftar Pustaka Ebook
Ihwan
Ma’ruf Hidayah. 2015. Jurnal Pendidikan Seni Rupa, Volume 3 Nomor 1 106 : Karakteristik
Visual Topeng Kerte Kesenian Tradisional di Desa Kotakan Kecamatan Situbondo
Kabupaten Situbondo.
Hidayatullah,
Panakajaya. Majalah Seni Budaya Cak Durasim Topeng Retak di Wajah Wayang Kerte.
Iman
Budhi Santosa. 2017. Profesi Wong Cilik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar