Kopi seperti kenangan. Apapun
yang disuguhkan. Nikmati saja.
19 September 2017
Maka pada suatu pagi yang cerah. Saya dan kawan-kawan, melaju ke perkebunan
kopi Kayumas. Meski mata terasa berat, berusaha tetap terjaga. Sembari kami
bercanda, dan menikmati pemandangan apa saja yang bisa saya lihat dari dalam
mobil. Berbelok-belok. Terus menanjak.
***
Oleh : Moh. Imron
Entah sejak kapan saya mulai suka minum kopi, tapi yang jelas
bertahun-tahun saya tidak peduli mengenal lebih jauh tentang kopi; jenis atau
berasal dari mana. Tak peduli di kedai, kafe, lesahan, warung kecil, hajatan
dan rumah. Tak peduli dengan siapa. Yang penting ngopi. Saya suka kopi dengan
lebih banyak gula. Kopi paling cocok menemani perbincangan. Kopi tak perlu
banyak dibincangkan. Hanya perlu diminum saja.
Namun belakangan ini sepertinya dunia kopi menginginkan saya untuk masuk
jauh ke dalamnya. Sepertinya saya harus belajar banyak hal tentang kopi. Itu bermula
ketika seringnya bersua dengan kawan-kawan yang sering membincangkan kopi
secara mendalam, saya hanya bisa mangap, tidak bisa mengimbangi pembicaraan. Di
saat seperti itu kadang saya gelisah.
Pada suatu waktu, tepatnya pada 8 September 2017, saya dan kawan komunitas,
diminta mengisi stand di salah satu kegiatan pameran produk lokal di alun-alun
Situbondo. Ketika pertama masuk, di pintu gerbang tampak tulisan. “Festival
Kopi Kayu Mas Juara Dunia.” Saya pernah masuk di stand pertama dengan latar
bertuliskan "Dari desa untuk dunia," kopi Kayumas. Saya mencoba kopi
yang tersedia di sana. Para barista sibuk melayani. Saya juga sempat
berbincang-bincang dengan orang-orang di sana.
"Kopi arabika pernah juara nasional tahun 2010, sedangkan kopi luak
juara dunia tahun 2016," katanya.
Rupanya dalam acara festival yang digelar hingga lima hari juga ada lomba
sangrai kopi, pemilihan ratu kopi dan hiburan musik lainnya.
Di lain waktu, saya akan berusaha mengenal jauh tentang kopi, termasuk
Kayumas. Bagi saya ini merupakan salah satu upaya mengenal potensi Situbondo.
Sejauh pengamatan selama di Situbondo ada tiga kebun kopi; Desa Kayumas
Kecamatan Arjasa, Lereng Argopuro di Kecamatan Sumbermalang dan Pariopo di
Kecamatan Asembagus. Itu saja dulu.
***
Selamat datang di wisata Kayumas, sebuah tulisan yang sempat saya lihat
plang pinggir jalan. Itu tandanya saya sudah masuk wilayah Kayumas. Tak lupa
pula saya kembali menikmati suguhan pemandangan alam, toko-toko, rumah-rumah
penduduk hingga pohon-pohon kopi.
Hari itu pula, saya teringat kawan-kawan komunitas. Semalam, kami
kedatangan Mas Phutut dan dua kawannya datang ke Situbondo tepatnya di rumah
baca damar aksara, kediaman Mas Marlutfi Yoandinas. Di sana juga merupakan
tempat saya nongkrong. Dari akhir obrolan malam itu intinya besok pagi akan
memasak kuliner; Nasi karak, gesseng dan takar, bersama budayawan Situbondo,
mbah Kutunuk. Sayangnya saya tidak bisa ikut. Duh.
Tentu, ketika saya ke Kayumas, mereka sedang berpesta.
Tak terasa saya tiba di lokasi, saya duduk santai di halaman pengolahan
kopi arabika. Ada bunga-bunga juga di sana. Cuaca panas tak mampu menembus
dinginnya suasana Kayumas. Sejuk. Saya menyalakan rokok. Sempurna.
***
Saya masuk ke dalam pabrik pengolahan kayumas. Kopi yang telah panen akan
ditimbang terlebih dahulu, kata pemandu di sana. Saya mengamati sebuah tempat
bernama kones, bentuknya kerucut. Kopi-kopi yang ditimbang dimasukkan ke konis
tujuannya untuk memilah kopi. Kopi kualitas bagus akan tenggelam begitu
sebaliknya. Kopi yang mengambang akan menjadi kopi rakyat.
Saya turun tangga, rupanya ada 3 mesin pulper, kopi dari konis itu masuk
pada pulper. Pulper merupakan mesin pemecah kulit kopi. Setelah terpisah
kulitnya, kopi dimasukkan pada bak fermentasi selama 36 jam sebanyak 40 ton
perhari. Kemudian dicuci lagi dan dijemur selama sehari.
Di tempat menjemur kopi, ada dua lobang panjang menuju ke bawah. Saya tidak
sempat bertanya, asumsiku ini hanya alat untuk memindahkan kopi yang sudah
dijemur menuju ke bawah. Ruangan-ruangan berikutnya ada di bawah. Saya turun
tangga. Di tangga terdapat tulisan berbahasa Madura, “Senga’ sapatuna
thak-thak, kopina ma’ ta’ noro’.
Saya sempati mengamati beberapa tumpukan kopi sedang dijemur. Saya masuk
pada ruangan yang ada cerobongnya. Rupanya ini merupakan ruangan mekanik,
tempat pengeringan kopi apabila sedang hujan. Dibutuhkan suhu max 10˚c, selama
50 jam. Pembalikan dilakukan sejam sekali.
Saya masuk pada ruangan dimana pendengaran saya terganggu. Beberapa orang
pegawai sibuk dengan aktivitasnya. Ini merupakan ruangan ayak. Tak lama
kemudian mesin dimatikan. Proses ayak kopi terbagi menjadi tiga. Biji kopi
besar, sedang, dan kecil.
Masuk pada ruangan besar, adalah kumpulan ibu-ibu sedangan memilah kopi.
Mereka duduk disebuah kursi panjang dan berjejer. di depannya ada meja yang
berisi kopi yang akan dipilah, kemudian ada empat bendera kecil yang
berbeda-beda. Mungkin ini tempat membedakan kopi yang telah disortasi. Keluar
dari ruangan itu, saya sempat melihat ruangan penyimpanan kopi yang sudah siap.
Saya kembali ke atas. Saya dipandu masuk ke laboratorium. Ruangannya kecil,
di pinggir ruangan ini terdapat beberapa alat-alat yang ada kaitannya dengan
kopi. Di bagian tengah, terdapat meja bundar. Di meja itu tergelatak beberapa
gelas berisi air, dua sampel kopi rakyat dan kualitas bagus. Juga ada dua
sampel kopi yang sudah disangrai. Kopi yang bagus ini akan diekspor ke luar
negeri. Tak lama kemudian para petugas meminta saya untuk mencium aroma empat
bubuk kopi dalam mangkok. Masing-masing kopi itu terdapat angka 1-4. Saya
mengambil mangkok, mengkocok-kocok, menciumnya, Wuahhh.
Terakhir, saya mencicipi empat kopi dan tentunya tanpa gula. Itu sebabnya
ada beberapa kedai kopi gulanya dipisah. Untuk mengetahui karakter kopi ya
tanpa gula. Pahit, tapi tidak seperti rasanya ditinggal kekasih. Dari apa yang
saya rasakan dari keempat kopi itu memang beda. Mangkok 1-2 berkualitas bagus
hanya saja perbedaannya pada proses sangrai. Sedangkan mangkok 2-4 kopi rakyat
perbedaannya juga pada proses sangrai. Sampai saat ini saya masih belum tahu
membadakan rasa atau karakter kopi yang enak. Di lain
waktu semoga saja bisa mempelajarinya.
Pikiran tak karuan. Saya mengantuk. Pusing. Semalam saya tidur menjelang
subuh. Saya berpindah ke kantor pusat. Dari petunjuk arah kisaran 700 meter ke
atas. Jalannya tidak beraspal. Saya tiba di sebuah ruangan, pemandangan yang
cukup sejuk. Di sana saya bersantai. Ada kopi, teh dan camilan yang sudah
disiapkan. Mungkin hanya hidangan ini yang akan mengerti perasaanku saat itu.
Dan kami makan siang.
Ketika pulang, di belakang ada kursi yang pas buat rebahan. Saya rindu
seseeorang yang bukan menjadi kekasih saya lagi. Saya harap ini salah satu cara
bertemu dengannya. Sepanjang perjalanan, saya tidur pulas. []
Pernah tersiar di takanta.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar