Waktu
terus berlalu, menyisahkan serpihan-serpihan kenangan. Dalam cerita ini, tak
ada hal yang menarik. Jadi, ini hanya dokumentasi saja.
Musim
jangkrik selalu hadir di desaku. Seperti yang dilakukan ponaanku saat ini. Mengingatkanku
akan masa kecil dulu. Waktu dan lama musim jangkrik masih tidak diketahui.
Hanya saja setiap tahun selalu ada.
Bersama
teman-teman waktu kecil, aku ikut memburu jangkrik di sawah ketika tengah
malam. Sepulang sekolah biasanya menyiapkan terlebih dahulu peralatan yang
dibutuhkan. Kebetulan di samping dan belakang rumahku terdapat bambu. Jadi
teman-teman tinggal ngambil saja bambu yang sudah gak di-pakek.
Kemudian
bersama-sama membuat kandang jangkrik yang dianyam. Setelah itu membuat obor
dari bambu dan urunan beli minyak tanah di toko dekat rumah. Selain itu
teman-teman sering mencari pelok
yaitu biji mangga yang sudah kering kemudian diiris separuh dan dibuang isinya
lalu kandang jangkrik ini diikat dengan karet biasanya disimpan di saku.
Lewat
tengah malam, teman-teman berangkat menuju sawah. Obor mulai dinyalakan, telinga
dipasang dengan baik-baik mendengarkan suara jangkrik berbunyi. Kemudian salah
satu teman kami mengendap-ngendap perlahan, memburu jangkrik yang mengkerik. Kami berburu pada waktu-waktu
tertentu, jika Sabtu malam, itu wajib.
Biasanya
kami selalu berhasil memburu jangkrik lebih dari 10. Kadang ada jangkrik yang
berhasil lolos. Dari hasil tangkapan kami ada dua jenis jangkrik. Teman rumah
menyebutnya “Ata Kaleng” yaitu warna
jangkriknya pirang atau mirip warna semut merah. Kemudian “Ghesseng” yaitu warna jangkrik yang warnanya hitam.
Hal
yang berbahaya dari menangkap jangkrik yaitu, bertemu ular. Biasanya
teman-teman langsung kabur dan berpindah temah, selain itu kaki teman-teman
pernah tertusuk duri, baik pancong
jagung, cekron atau tumbuhan berduri lainnya. Apabila obor mati, biasanya
anak-anak khawatir terhadap adanya hantu. Teman-teman memilih berlari.
Hasil
tangkapan jangkrik di simpan di dalam toples yang tutupnya terdapat beberapa
lobang sebesar ukuran paku kecil. Biasanya alasnya terbuat dari tanah dan disertai
pakan dari kacang mentah, karajeb, cabai
dan daunnya. Memelihara suara jangkrik ada kebahagian tersendiri.
Ketika
hari libur kami sering mengadu jangkrik, jika salah satu jangkrik tidak mau
bertarung biasanya salah satu kaki jangkrik diikat pada sehelai rambut kemudian
diputer-puter. Kadang kami menjual jangkri, pada waktu dulu harganya Rp. 200. Beberapa
temannku sebagian ada yang bercerita kalau mengadu jangkrik itu tidak boleh,
bahkan kelak kita akan diadu juga oleh jangkrik seperti raksasa.
Menginjak
remaja, aku pun mulai meninggalkan kegiatan seperti itu. Ketika malam jarang
mendengarkan suara jangkrik. Mungkin hal ini juga dirasakan oleh teman saya,
Yudik. Bahkan sekarang lebih suka memelihara kekasih yang kadang bersuara tawa
dan tangis. Atau barangkali seperti Zaidi yang setiap waktu suka memelihara
perasaannya. Apa aku perlu menirunya atau tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar