![]() |
pixabay |
Bulan Ramadhan bukan
hanya sebuah waktu atau momentum untuk beribadah. Kehadirannya serupa kenangan
yang menghadirkan kisah-kisah silam. Menahan rasa rindu dan luka yang selalu
diulur oleh kehilangan.
###
Seharusnya senja sudah
tiba, tapi kali ini disembunyikan oleh awan hitam. Langit memang sudah redup
sejak pertengahan siang. Akan tetapi hujan tidak segera turun, mungkin menunggu
di waktu yang tepat. Sore itu, terdengar pula suara tadarus, namun bagi
masyarakat Desa Sumon suara itu bukan sesuatu yang asing. Sebab di kampung itu,
setiap hari selain bulan Ramadhan akan selalu terdengarkan santri mengaji,
membaca nadhoman dan sebagainya.
Sayup-sayup itu juga
terdengar ke telinga nenek yang sedang sibuk di dapur. Sepertinya akan
menyiapkan menu buka puasa. Ia baru saja mengambil kayu bakar secukupnya yang
sebelumnya sudah ditumpuk di belakang dapur. Kayu bakar yang terdiri dari
ranting pohon mangga, bambu, kesambi serta jenis kayu bakar lainnya diletakkan
di samping tungku yang terbuat dari bata.
Di sekitar rumah nenek
itu memang dipenuhi dengan tumbuhan-tumbuhan. Untuk mengepulkan asap di dapur,
nenek itu tidak menggunakan kompor gas, hitung-hitung pengiritan sebab
kemampuan ekonominya melemah, apalagi untuk memperoleh kayu bakar sangat mudah,
tinggal mencari ranting yang berserakan di sekelilingnya. Ia juga diizinkan
mencari kayu bakar atau ranting pohon di pekarangan tetangga yang masih penuh
dengan berbagai macam pohon dan lumayan rimba.
Kemudian nenek itu
mencuci beras lalu menuangkan pada dandang. Ia menyalakan api, memasukkan kayu bakar ke dalam tunggku.
Tampak api menyala-menyala di mulut tungku. Ia duduk di atas lincak. Di sebelah
nenek itu tergeletak, kacang goreng yang dibungkus, terong, tahu mentah, cobek,
jeruk nipis, tomat, pisau, cabai dan beberapa bumbu lainnya.
Nenek itu menjaga api
agar tetap menyala. Di saat seperti ini ia juga merenung. Wajahnya yang sudah
keriput. Ia teringat sewaktu masih muda begitu bersemangat melewati bulan
Ramadhan; tadarus, tarawih dan sebagainya. Tapi kali ini tenaganya sudah tidak
cukup mampu, juga penglihatannya mulai berkurang. Selain itu, baginya bulan
Ramadhan bukan hanya untuk melaksanakan ibadah puasa, sewaktu dulu ia juga
memanfaatkan puasa dengan belajar berwirausaha, berdagang, saling berbagi,
menambah wawasan, mungkin hal seperti juga dialami muslim lainnya. Misalnya di
kalangan pemuda bisa berkumpul dan berkesenian lewat patrol, mendengarkan
ceramah atau kegiatan lainnya.
“Buka puasa besok, aku
ingin kaldu, Mak.”
Suara-suara kecil buah
hatinya melintas. Ia teringat anaknya sewaktu puasa sering bermanja untuk
menuruti selera makannya waktu dulu. Tentu ia juga senang ada semacam hal itu,
tapi kini tak dirasakannya lagi.
“Besok kita belanja
pakaian di kota!”
Lagi-lagi ia teringat
suara suaminya di saat Ramadhan dulu. Tapi kini ia sudah sendiri. Suaminya
telah mangkat terlebih dahulu sejak beberapa tahun lalu. Tentu nenek itu
sewaktu suaminya masih ada juga bermanja. Misalnya mengatakan begini.
“Yah, besok saya butuh
uang belanja untuk kebutuhan buka dan sahur.”
“Ini, belanjakan
secukupnya,” seraya menyerahkan uang.
“Bagaimana dengan
kue-kue lebaran?”
“Nanti akan aku usahakan
lagi.”
Anggap saja begitu. Jika
teringat masa-masa Ramadhan sebelumnya, hati nenek selalu bergemuruh. Bukan
berarti kehidupannya ini tidak bahagia. Hanya saja ia sudah terbiasa berbagi
walau bagaimanapun kondisinya, yang penting bisa dijalani bersama. Meskipun
saat ini kesepian, sebenarnya ia juga ingin menikah lagi. Sebab di kampungnya
juga ada kakek yang duda dan seumuran. Entah bagaimana caranya. Ia hanya bisa
diam membisu. Tapi yang pasti, ia pernah menghayal hidup bersamanya.
Kalau ingat Ramadhan
sebelumnya, nenek itu beruntung. Ia mendapat bantuan mulai dari pakaian dan
beberapa kebutuhan pokok. Bahkan pernah masuk koran, ia berfoto bersama para
pemimpin daerah saat menerima bantuan. Tapi menginjak puasa dapat 7 hari
beberapa waktu lalu ia juga mendapat bantuan dari seorang pemuda. Tapi cukuplah
untuk melangsungkan dua minggu meskipun bantuannya tidak sebanyak Ramadhan
lalu. Ia cukup bersyukur. Masih ada yang peduli.
###
Waktu telah memeluknya
hingga tak terasa beras yang dimasak hampir matang. Nenek itu meletakkan wajan,
menuangkan minyak goreng di atasnya. Ia juga membagi kayu yang telah menyala
untuk menggoreng. Selanjutnya ia meracik bumbu di atas cobek sebagai bumbu
tahu. Di rasa minyak goreng sudah panas ia segera menceburkan tahu ke dalam
wajan. Terdengar suara menggoreng yang begitu khas dan menyebarkan aroma yang
menggugah. Ia juga memanggang terong. Dan juga membuat bumbu baru di atas
cobek.
Kalau lihat sekeliling
ruangan dapur itu; pembatas dapur nenek yang terbuat dari bambu sudah berwarna
hitam akibat kepulan asap dari tungku. Begitu juga langit-langit dapurnya penuh
dengan sarang.laba-laba dan berwarna hitam. Di sebelah api tungku ada rak dapur
yang terdiri dari dua tingkat, beberapa piring, mangkok, gelas, sendok, dan
peralatan lainnya berjejer dis ana. Di dekat pintu ada lemari penyimpanan
makanan dengan warna cat yang sudah lusuh.
Menu buka puasa
sepertinya sudah hampir siap, langit masih saja mendung seolah sudah hampir
malam, nenek itu mengira pun juga begitu, padahal bedug masih kurang setengah
jam. Tapi nenek sudah menyajikan buka puasa. Di atas lincak, kini tersajikan
dengan nasi yang mengepul, tahu goreng, bumbu kacang dan terong tahu, dan
segelas air.
Selama melewati buka
puasa, ia tidak pernah menikmati minuman-minuman yang istimewa. Atau seandainya
saja nenek itu melewati jalan-jalan di kota bisa jadi akan mendapatkan takjil.
Berjumpa dengan pemuda-pemuda yang sering berhamburan di jalan kota, memberikan
takjil kepada pengendara yang lewat di sana. Ya, namanya juga tinggal di
pelosok desa, sewaktu-waktu mungkin akan mendapatkan takjil dari beberapa
tetangga saja.
Nenek itu mencentong
nasi pada piring, kemudian mencentongnya lagi pada piring satu, sekali lagi ia
mencentongnya lagi pada piring. Kira-kira untuk siapa dua nasi itu? Padahal dia
sendirian. Entah apa yang dipikirkannya ia mengambil kembali nasi yang ada di
dua piring kemudian meletakkan kembali pada tempat nasi. Nenek itu tampak
ragu-ragu, eh malah ia menuangkan kembali pada dua piring itu. Ia seperti
teringat sesuatu. Di benaknya seperti terbanjiri oleh hujan kenangan.
Gerimis pertama kali di
Bulan Ramadhan mulai turun, nenek teringat jemuran yang belum diteduhkam dan
juga rengginang yang sejak tadi pagi dijemur yang kemungkinan menjadi salah
satu hidangan pada saat lebaran. Ia mengemasinya.
Ia meletakkan pakaian di
dalam rumanya, gerimis berganti hujan yang begitu deras seolah langit sedang
menangis sedang melampiaskan kesedihan. Tiba-tiba listrik mati, lampu yang
mendapat aliran listrik dari tetangga pun padam. Sepertinya sore akan berganti
malam, suasana itu menjadi gelap gulita. Apalagi kejernihan penglihatan nenek
mulai berkurang. Radio-radio yang di putar di masjid untuk menandakan bedug
sudah tiba pun tak terdengar lagi. Sunyi.
Nenek itu meraba-raba.
Ia beranjak menuju dapur. Yang ia ingat, atap dapurnya banyak yang bocor. Ia
sudah menemukan korek kayunya yang sudah basah tapi tak bisa dinyalakan.
Apalagi damar yang terbuat dari kaleng juga lupa diletakkan di mana. Sementara
itu suasana memang sudah gelap, entah bagaimana dengan menu makanan yang masih
tergelatak di lincak. Apakah menu itu penuh dengan air yang jatuh dari
lobang-lobang gentengnya, juga penuh dengan kotoran-kotoran atau daun-daun yang
bersarang di atas genteng ikut bercampur dengan air? Sama sekali nenek itu
belum memastikan, sebab suasana memang tampak begitu gelap.
Mungkinkah
ini hujan terakhir di bulan ini? Selanjutnya apakah langit akan ikut berpuasa
selama semusim? Tapi yang jelas untuk sementara nenek itu tidak berharap hujan
cepat reda dan berikutnya tidak hujan lagi hingga atap rumahnya benar-benar di
perbaiki dan tidak bocor lagi hingga melewati sudut matanya.
Waktu itu, nenek hanya
pasrah. Ia duduk agak lama di atas lincak. Sampai saat itu memang tidak ada
tanda-tanda bedug. Akan tetapi ketika mendengar azan yang masih samar-samar
ketelinga nenek itu. Dalam gelap, sambil meraba-raba menu buka, nenek yang
sering dipanggil Mak Sutini oleh tetangganya, hatinya lega dan membaca doa.
Kemudian ia menyantap buka puasa yang telah disiapkan tadi dengan lahap.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar