SEJUMLAH
seniman Situbondo dan Jember sepakat menyuguhkan resital musik Munajat
Perjalanan, akhir April 2016 lalu di PKM Universitas Jember.
Properti
panggung berlatar perahu yang identik dengan perjalanan transportasi laut
menggiring penikmat musik malam itu dalam arti perjalanan itu sendiri.
Malam
pekat dan lampu yang dipadamkan, perhatian penonton dipaksa fokus ke pentas
yang bermandikan cahaya.
Rasa
Rasta yang beranggotakan
Lahindra dan Aying lewat piano klasik membuka pentas Munajat Perjalanan malam
itu. Selanjutnya, ganti berganti perjalanan lewat Lir Ilir, Munajat Perjalanan,
Desah Sepertiga Malan, Fragmen, Kembang Moljhe hingga Menyatu.
Sungguh
suguhan yang unik. Digawangi Ali Gardy (sapek Kalimantan, flute, saxophone),
Ghuiral (saluang, bansuri, kecapi), Panakajaya (piano), Polem (kendang,
perkusi), dan Dani Al Pratam (vokal), sukses memanaskan pentas di malam itu.
Menurut
Panakajaya, salah satu misi utama
mereka adalah mengenalkan musik etnik Nusantara dengan mengolaborasi musik
klasik dan etnis Nusantara. Selain menampilkan beberapa musik kontemplatif dan
kontemporer.
Digelar
dua malam berturut-turut, Munajat Perjalanan terbukti sukses merangkul kaum
muda untuk bersama-sama belajar dan mengapresiasi kawinan dua genre musik ini.
Sementara
workshop yang digelar 29 April 2016 dinilai memotivasi kaum muda untuk mengenal
dan mendalami musik etnik Nusantara.
Panakajaya berkisah, awal terbentuknya tim Munajat
Perjalanan sebenarnya sangat panjang. Bermula dari pembicaraannya dengan
Ghuiral dan Ali, lahirlah pertunjukan musik yang edukatif sekaligus reflektif. Dari sanalah kemudian kami bertemu dengan Kak
Dani dan Polem, musisi profesional di Jember.
Persamaan
misi dan pemikiran dalam berkarya, akhirnya lahirlah konser Munajat Perjalanan.
"Ini
merupakan upaya menciptakan ruang bagi musik tradisi yang kurang mendapatkan
tempat, sekaligus sebagai pembuktikan bahwa musik tradisi tidak membosankan dan
ternyata bisa dikemas dengan begitu menarik," tutup Panakajaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar