(Jawa Pos Radar Banyuwangi, Minggu 25 September 2016)
Ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Beberapa ratus
purnama yang lalu.
Jasman tampak bersemangat sekali mengumpulkan kayu bakar
untuk dijual. Setidaknya dengan hasil penjualan bisa menyambung hidupnya.
Meskipun usianya baru hinggap sebelas tahun, ia tidak pernah menyerah pada
keadaan. Sejak kecil ia ditinggal oleh ayah dan ibunya. Ia dibesarkan oleh
neneknya.
Biasanya Jasman sering menangkap ikan di sungai, lalu
menjual hasil tangkapannya ke pasar dan menyisihkan 4 – 6 ekor untuk neneknya. Semenjak
musim kering tiba, sungai-sungai dan waduk di daerahnya mulai kering, ia
kesulitan mencari ikan. Itu sebabnya Jasman beralih profesi dengan mencari kayu
bakar ke hutan.
“Nek, aku berangkat dulu.”
“Hati-hati! Jangan terlalu dalam masuk ke hutan. “
Jasman pergi ke hutan yang berada di perbatasan desanya.
Meskipun sendirian ia tidak pernah takut. Kayu bakar yang dikumpulkan tidak
cukup banyak, sebab Jasman hanya mencari di pinggir hutan yang setiap hari
sudah diambilnya. Hari itu ia kecewa, tidak bisa mengumpulkan kayu bakar lebih
banyak. Ia nekat masuk ke tengah hutan.
Ketika pulang, Jasman tidak menceritakan pada Neneknya.
Sebab ia takut nanti tidak diizinkan lagi mencari kayu bakar ke hutan. Apalagi
beberapa hari ini neneknya sering sakit-sakit. Ia harus bekerja keras dan bisa
mendatangkan seorang dukun untuk mengobati penyakit neneknya. Hari berikutnya
ia tetap pergi ke tengah hutan.
“Oh, rupanya ini yang berani masuk wilayahku tanpa izin,”
kata seekor Banteng sambil menghadang.
“Aku hanya mengambil kayu bakar. Aku minta maaf! Sebab
aku tidak tahu,” jawab Jasman apa adanya.
“Apa pun alasannya, aku harus membunuhmu.”
Banteng itu langsung menyerunduk, tanpa pikir panjang
Jasman langsung menghindar ke samping sehingga Banteng menghantam tempat
kosong. Banteng bertambah kesal, ia mencoba mengejar Jasman yang mencoba lari.
Jasman berhenti di balik pohon, sementara Banteng merasa kesulitan untuk
menyerunduk. Beberapa kali sepakan tanduk Banteng hanya mengenai pohon. Banteng
merasa kesakitan, dalam kesempatan itu Jasman berlari dengan kencang. Banteng
pun tidak sempat mengejarnya lagi.
Jasman kebingungan, akibat ketakutan. Ia sangat sedih
apalagi neneknya semakin parah. Jasman harus mengumpulkan uang banyak. Ketika ia
lewat di dekat rawa, ada seekor buaya menyapanya.
“Hei anak kecil, kenapa kau sedih? Ayo ceritakan!
Barangkali aku bisa membantu,” Buaya menyapanya ketika melihat anak kecil
sedang bersedih. Buaya merasa kasihan.
Jasman pun bercerita tentang apa yang ia alami. Mulai
dari keadaan ekonomi, nenek, hingga menghindar dari serangan Banteng. Jasman
juga berharap pada Buaya agar ia bisa membantunya. Sebab Jasman sudah tidak
punya siapa-siapa lagi. Jasman merasa Buaya adalah makhluk yang baik.
“Aku Buaya Darat.
teman-temanku sering memanggilnya Budar. Aku akan memanggil 3 temanku untuk
membantumu menangkap ikan. Di rawa ini, ikannya cukup banyak”
Jasman hanya mengangguk. Para buaya membawa Jasman ke
tengah rawa, mereka saling bekerjasama. Jasman hanya membawa tali. Ia duduk di
atas buaya, tugasnya hanya mengumpulkan ikan. Sementara buaya lainnya melempar
ikan yang ditangkap ke arah Jasman. Jasman sangat senang. Beberapa puluhan ikan
sudah berhasil ditangkap. Ia bergegas pulang. Tak lupa pula ia mengucapkan
terima kasih. Jasman merasa senang bersahabat dengan Buaya. Buaya Darat yang
tidak memangsa manusia juga tidak memangsa perasaan.
Jasman sudah bisa mendatangkan dukun yang tinggal di desa
seberang. Tak lupa pula Jasman memasak nasi. Meskipun masih kecil ia sudah
pandai memasak. Setiap harinya ia selalu membantu nenek, ia sering membeli lauk
pauk di pasar. Ia sudah hapal meracik bumbu-bumbu. Di usia yang masih muda, ia
tidak manja. Jasman juga membuat hidangan untuk dukun yang telah mengobatinya.
Beberapa hari kemudian, kondisi nenek berangsur pulih.
Jasman sangat senang. Nenek sangat bangga pada Jasman. Kadang ia merasa kesihan
pada Jasman. Di saat kecil seperti ini, ia sudah menanggung hidup yang berat.
Ia hanya bisa berdoa, semoga kelak Jasman bisa menjadi orang yang berhati
besar.
Kadang Jasman juga menemui Buaya, ia ingin bercerita
mengenai kondisi neneknya. Akan tetapi Jasman mendapati Buaya sedang galau.
Jasman mencoba memberanikan diri untuk bertanya. Jika sendainya mampu, Jasman ingin
sekali membantu kesulitannya.
Buaya tidak sungkan bercerita hal yang membuatnya sedih.
Sebab di rawa ini airnya perlahan mulai kering. Mungkin bulan depan airnya
sudah habis. Bisa jadi hal ini mengancam kelangsungan hidupnya. Ia tidak tahu
harus tinggal di mana lagi.
“Apa yang bisa aku bantu?”
“Kita akan menangkap semua ikan di rawa ini. Mumpung air
belum kering. Jika tidak keberatan kau jual semua ikannya. Kemudian kau datang
ke rumah Ki Subalu untuk meminta pertolongan.”
“Baiklah, aku siap membantu.”
Hari itu semua buaya menangkap ikan, Jasman tidak
merasakan letih sedikitpun. Ikan yang ditangkapnya masih kurang. Ia menjual
ikan seadanya. Kemudian esoknya menangkapnya lagi sampai dirasa sudah cukup.
Kurang lebih sekitar 4 hari mereka lembur.
Seperti yang disarankan Buaya, Jasman pergi ke rumah Ki
Subalu, seorang pawang hujan yang dikenal sangat mustajab. Dengan kuasa-Nya, Ki Subalu yang pandai mengatur hujan. Meskipun
jauh dari desa ia berani mengambil resiko demi sahabatnya. Jika sendainya
benar-benar hujan tentu Jasman akan ikut gembira. Nanti bisa menangkap ikan
lagi di sungai dekat rumahnya. Dan tentu akan menjadi kabar baik untuk nenek
dan juga penduduk yang dilanda kekeringan.
Sepulang dari Ki Subalu, di tengah perjalanan awan tampak
hitam. Perlahan hujan mulai turun. Ia sangat gembira. Namun ditengah perjalanan
ia dicegat oleh Banteng yang pernah bertemu beberapa waktu lalu. Apalagi jalan menuju
rumah Ki Subalu harus melintasi pinggir hutan.
“Kali ini kau tidak akan lolos lagi anak kecil. Kapan
hari kau boleh senang. Sekarang jangan harap!”
Jasman masih agak kebingungan. Ia melirik kiri kanan.
Tanpa aba-aba lagi, ia berlari ke semak belukar. Kedua Banteng bingung
mencarinya. Tubuh yang besar membuat kesulitan menerobos semak belukar dan
penglihatannya sedikit terganggu, terhalang oleh daun-daun. Setelah berhasil
keluar dari semak belukar, Banteng mendapati Jasman sudah berlari sangat jauh.
Banteng pun masih mengejarnya.
Hujan turun begitu lebat, tak mengurangi rasa geram
Banteng. Banteng seperti dipermainkan oleh anak kecil. Sementara Jasman terus
berlari, sesekali ia terjatuh akibat jalan yang becek. Namun Banteng berhasil
mendekati Jasman.
Tenaga Jasman sudah terkuras, napasnya tersengal-sengal.
Untung saja ia sudah tiba di rawa dan para buaya menyambutnya dengan kaget.
Banteng pun berhenti dan berdiri di hadapan Buaya.
“Hei, Buaya, sebaiknya kau serahkan anak kecil itu!”
“Kau jangan cari gara-gara di sini dan jangan ganggu anak
yang tidak bersalah.”
“Anak itu sudah masuk wilayahku tanpa izin. Apalagi
sampai mencuri kayu.”
“Kau jangan terlalu keras. Dia tidak tahu apa-apa.
Apalagi dia sudah minta maaf.”
“Kau berani menentangku.”
Tanpa pikirapan panjang, Banteng langsung menyerunduk Buaya.
Buaya yang sering dipanggil Budar tidak sempat menghindar, akibatnya Buaya
terpental kesamping. Jasman yang berada di sampingnya tersambar tubuh Buaya.
Jasman tertindih oleh tubuh buaya, ada luka-luka di tumbuh Jasman. Sesaat,
Jasman tak sadarrkan diri.
Sementara itu Banteng menyerunduk Buaya yang lainnya.
Rupanya 3 ekor temannya juga siap melawan. Dengan bemodal gigitan giginya. Beberapa
buaya terpental akibat tandukan yang cepat dan keras. Sesekali Banteng berjalan
mundur, lalu menerjang lagi dengan sodokan tanduk yang memantikan. Tetapi Buaya
juga berhasil menghindar dan tetap memberi perlawanan.
Partarungan Buaya dan Banteng semakin sengit. Beberapa Buaya
banyak yang terluka. Begitu pula dengan kaki Banteng yang sempat tergigit. Para
Buaya mulai berpencar, mereka mengililingi Banteng. Para Buaya menyerang
bersama-sama. Dengan cepat para buaya langsung mengincar kaki Banteng. Dengan
cepat, Banteng melompat. Banteng tidak sempat menghindar dari Buaya yang
mencoba menggigit dari belakang. Kaki Banteng digigit hingga jatuh.
“Auhhhhhhkkkk,” Banteng merintih kesakitan.
Buaya yang satunya lagi langsung menggigit leher Banteng.
Banteng tidak kuat lagi bertahan. Semua Buaya menyeretnya ke rawa dan mencabik-cabiknya.
Para Buaya tak segan-segan menyantap tubuh Banteng.
Tak lama kemudian, Buaya lagi kebingunan, sebab ia
mendapati Jasman tak sadarkan diri. Tubuhnya penuh luka-luka dan memar, para Buaya
membasuk lukanya. Akan tetapi ia kebingungan cara menyembuhkan.
“Oh, sahabatku,” Buaya yang dipanggil Budar merintih.
###
Sehari kemudian, beberapa penduduk berhamburan di tepi
rawa.
“Itu Jasman,” teriaknya.
“Ayo bunuh semua Buaya itu.”
Tanpa pikir panjang para penduduk menyerang buaya. Mereka
menggunakan tombak, senjata tajam, dilempari batu dan bermacam alat pukul
lainnya. Tidak membutuhkan waktu yang
lama, semua Buaya tewas.
“Bagaimana kondisi, Jasman?”
“Masih hidup, lukanya tidak terlalu parah.”
“Oh, cucuku.”
Nenek Jasman memeluknya. Kemudian Jasman dibawa kembali
ke rumahnya untuk dirawat. Nenek Jasman sangat sedih. Sebab beberapa hari
perasaannya merasa tidak enak. Ia menyangka ada sesuatu yang terjadi pada
cucuknya. Apalagi hari itu Jasman tidak pamit keluar. Itu sebabnya nenek
bertanya pada semua warga. Dan kebetulan ada salah satu warga melihat Jasman
yang menuju ke arah rawa. Nenek pun melapor dan meminta pertolongan pada kepala
desa untuk mencarikan cucunya.
###
Kelak, ketika Jasman sudah dewasa, ia akan menceritakan
tentang Buaya, Banteng, hujan di musim kering dan seperti ada penduduk yang merasa
bersalah, tergesa-gesa mengambil keputusan. Dan suatu hari lagi para menduduk
menamai desanya Bajulmati atau Buaya mati untuk mengenang jasanya.^^^
cie cie udah dimuat tuh,,, aku kapan ya?
BalasHapusSemoga cepet menyusul. Terbit di pelaminan. Eh media.
Hapus