Napas
Dale tersengal-sengal, keringat bercucuran, perasaannya lega meski belum cukup
tenang. Ia melepas lelah di gazebo yang terbuat dari bambu belakang rumahnya, menikmati
semilir angin yang sejuk. Istrinya menghampiri, seketika tahu kedatangan Dale.
“Bagaimana,
Pak? Baik-baik saja, kan?”
“Untunglah.
Tadi, seperti ada yang membuntutiku.”
“Iya
sudah, Yang penting Bapak selamat. Sebaiknya Bapak istirahat dulu!”
“Baiklah,
aku salat Zuhur dulu.”
Siang
ini, Dale berhasil membawa kabur seekor kambing di tegal yang tidak dijaga oleh
pemiliknya. Setelah istirahat sejenak, Dale langsung mandi. Ia bersiap diri
untuk salat berjamaah di masjid ketika azan berkumandang. Ia sangat istikamah
menunaikan ibadah. Sekali pun pencuri, masak harus meninggalkan salat. Begitu
jawabnya bila ada rekan kerjanya yang sering protes. Istrinya pun sangat
memahami dengan keadaan Dale.
Terkadang,
Dale merasa sial atau kaget jika ada suara motor lewat dekat rumahnya. Begitulah,
ada rasa tidak aman atau merasa terancam jika melakukan hal yang dilarang. Terutama, ketika takut ketahuan oleh masa atau
pihak yang berwajib.
Ketika
sore, ada tamu yang tidak dikenalnya. Umurnya sekitar 27 tahun. Dale menyambut
tamu dengan baik,
meskipun ada sedikit curiga. Pada awalnya perbincangan sangat ringan. Tapi kali
ini, tamu tersebut mengeluarkan beberapa pertanyaan yang membuat pikiran Dale
sedikit kacau.
“Aku
melihat Bapak
memakai baju merah, topi hitam dan motor tahun 80-an tadi siang.”
“Iya
benar?” Dale menjawab tenang.
“Bapak
tadi di tegal, dekat jembatan sungai 7.”
“Maksud
Bapak apa?” Dale
mengelak, meskipun ia tahu apa yang dilakukan saat di tegal. Ia mencoba
mengalihkan pembicaraan.
“Aku
melihat Bapak
mencuri kambing tadi siang.” Tamu tersebut menjawab dengan terang-terangan.
“Bapak
baru pertama ke sini. Jangan menuduh sembarangan! Memang Bapak siapa?” Nada Dale sedikit meninggi.
“Aku
bukan wartawan, Pak. Tenang
saja! Tuh dengar! Suara kambingnya
berbunyi di belakang.” Ucap seorang tamu yang bersamaan dengan bunyi kambing
dari belakang rumah.
Dale
sedikit takut, gemetar, setelah kelakuannya ada yang mengetahui. Dugaan Dale
ternyata benar, kalau tadi siang memang ada yang membuntutinya.
“Tolong
jangan laporkan saya, Pak!”
“Tenang,
Pak! Kebetulan tadi
hanya lewat. Lalu, memperhatikan dan membuntuti Bapak. Setelah itu, aku mengawasi Bapak sampai sekarang. Yang membuat saya
heran, saya melihat Bapak
salat di masjid. Kenapa masih mencuri?“
Dale
diam dan merunduk sejenak. Ia memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab
pertanyaan tamunya. Kemudian, ia
menatap tamu yang berkulit sawo matang itu.
“Aku
mengejar kesuksesan.”
“Apakah
Bapak tidak berpikir?
Apa yang dilakukan bertentangan dengan agama dan negara. Bukankah barang dari
hasil curian tidak sah digunakan untuk beribadah?”
Dale
menghela napas dalam-dalam. Ia mulai tidak menaruh rasa curiga pada tamu. Sepertinya
ia mempunyai niatan baik. Dale mulai sedikit bercerita tentang kehidupannya.
“Iya,
aku tahu. Aku tidak bisa berdaulat dengan diri sendiri atau pun denganmu.
Biarlah Tuhan yang menilai sendiri nanti. Apakah sah, diterima atau tidak?
Menurutku tidak masalah. Yang penting tidak meninggalkan kewajibanku. Di sisi lain,
aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini. Anakku yang masih SMA, sebentar lagi
ujian nasional, begitu juga dengan anak kedua, yang masih duduk di bangku MTs.
Aku sangat tertekan dengan biaya sekolah yang serba instan dan wajib dipenuhi.
Aku takut kalau anakku tidak lulus. Maka dengan cara apa pun, aku akan melakukannya. Mengingat sekolah
itu sangat penting.”
Tamu
itu sedikit prihatin dan mengerti dengan kondisi Dale. Sebelum bertemu Dale, tamu
tersebut sudah mencari informasi terlebih dahulu melalui tetangga sekitar. Kehidupan Dale memang sudah
diujung tanduk.
“Sejak
kapan Bapak
melakukan seperti itu?”
“Satu
tahun belakangan ini. Kalau tidak ibadah terlebih dahulu, aku merasa tidak
enak. Setiap selesai ibadah, aku memanjatkan doa supaya selamat. Pernah suatu
hari, aku dikepung saat mencuri sapi yang sudah mustahil untuk lolos. Tak ada
lagi yang aku lakukan selain doa supaya diberi perlindungan. Alhamdulillah, aku tidak menyangka bisa
terbebas.”
Tamu
itu hanya mengangguk penuh rasa kagum.
“Jika
seperti itu, kenapa tidak ditambah saja?”
“Maksudmu?”
“Menambah
doa di sepertiga malam. Bisa juga melaksanakan salat tahajud.”
“Salat tahajud? Ya ya, aku
pernah mendengarnya. Tapi aku tidak tahu caranya. Dulu, orang tua tidak mampu
menyekolahkanku. Selain belum tamat SD, aku pun jarang mengaji.”
Dale
dan tamunya banyak bertukar informasi. Tamu itu sangat mengerti. Ia harus pamit
undur diri.
“Aku
pamit dulu, Pak.
Bapak tenang saja!
Aku tidak akan melaporkan
ke siapa pun. Aku hanya bisa mendoakan. Dan semoga kambingnya laku dengan harga
yang sangat mahal.”
“Terima
kasih, Pak.”
***
Tiga
hari kemudian.
Pada
pukul sebelas malam, Dale terbangun dari tidurnya. Malam ini, ia harus menemui
rekannya untuk negosiasi kesepakan hewan curian itu. Setelah bertemu temannya, Dale
begitu beruntung, harga hewan yang dijualnya sangat mahal. Penjualan kali ini
sangat cepat dan lancar, berbeda dengan malam-malam sebelumnya.
Malam
pun makin sunyi. Suara kokok ayam bersahutan di dini hari. Setibanya di rumah
lepas menjual kambing, Dale pun duduk di kursi beraksen bambu di depan ruang
tamu. Ia memandang langit, nampak bulan separuh berwarna kuning emas. Beberapa
bintang di sekelilingnya saling kedip. Dale membiarkan dingin angin menembus
celah pakaian hingga menyentuh tubuhnya. Suasana malam yang begitu sepi dan
indah. Tapi tidak dengan pikirannya.
Tiba-tiba
pikiran Dale
teralihkan dengan nasib keluarganya. Saudaranya meninggal, terhempas banjir
bandang sejak tiga tahun lalu. Hidup Dale serba kekurangan. Terkadang, ia
merasa lelah dengan keadaan hidupnya. Ia sulit mencari pekerjaan di zaman
modern ini. Dale tidak mempunyai banyak keterampilan, apa lagi tidak tamat SD.
Ia hanya bisa menggantungkan harapan pada kedua anaknya.
Terlintas
ingatan atas ucapan tamu beberapa hari yang lalu. Benarkah waktu seperti ini
adalah puncak keistimewaan waktu,
doa-doa akan segera dikabulkan dan menjadi kenyataan? Dale berniat untuk
menunaikan salat tahajud, hanya saja ia tidak tahu tata cara salat sunah itu.
Ia hanya berdoa, sama seperti doa ketika selesai beribadah pada hari-hari
sebelumnya.
“Tuhan,
berilah kemudahan dan kekuataan dalam perjalan hidup keluargaku! Tunjukkan aku
kejalan lurus-Mu! Robbana atina fiddun’ya
hasanah, wa fil akhiroti hassanah, wa qina aza bannar.” Dale memejamkan
matanya. Ia mencoba mengenyahkan setiap kesedihan yang sering menemani hidupnya.
Lewat embusan pelan napasnya, ia merasakan setiap detik ingatan tentang
senyuman istri dan kedua anaknya. Tidak terasa bulir bening di sudut mata Dale
menetes.
“Bapak...?”
Terdengar suara istrinya memanggil dari pintu rumah. Ia menghampiri Dale. Dengan
cepat, Dale mengusap air matanya.
“Kamu
kok tidak tidur?”
“Tadi
terbangun, Pak. Aku tidak nyenyak tidur memikirkan nasib Laili sama Arif. Belum
lagi hutang kita Pak, yang sudah telat dan menumpuk. Bisa jadi rumah kita
disita.”
“Ini
untuk biaya sekolah anak-anak kita. Untuk hutang, nanti kuusahakan lagi. Besok
pagi aku mau menumui temanku untuk membantu menjual hewan curian di luar kota.”
“Iya,
Pak. Persediaan makanan kita juga sudah habis, hanya cukup untuk satu hari ini.
Apalagi harga barang bertambah mahal.”
“Sabar
ya! Serahkan semuanya sama Tuhan, Bapak akan terus berusaha dengan cara apa
pun. Dan maaf, kamu juga ikut menanggung kesedihan ini.” Dale memegang tangan
istrinya. Ia mengisyaratkan pada istrinya untuk tetap tabah menjalani cobaan
hidup.
“Iya
Pak, tidak apa.
Meskipun kesusahan, aku senang. Setidaknya kita menjalani bersama.” Kali ini
istrinya menatap Dale
dengan tajam. Tersimpan ketulusan yang amat mendalam.
Dale
beruntung mempunyai istri yang sangat pengertian. Bagaimana pun keadaan Dale,
istrinya tidak pernah mengeluh. Ia hanya bisa mendoakan suaminya. Terkadang ia
juga memberi nasehat-nasehat dengan lembut tanpa menyinggung perasaan Dale.
Tak
terasa perbincangan Dale dan istrinya disambut dengan suara azan. Segera mereka
menuju dalam rumah untuk membangunkan Laili dan Arif untuk menunaikan ibadah
salat Subuh bersama.
Selesai
salat,
Laili
dan Arif mengaji. Meskipun Dale tidak bisa mengaji, ia amat bangga pada kedua
anaknya. Ia sangat bersukur pada guru ngaji yang mengajarkan anaknya tanpa
pamrih. Laili dan Arif sering membantu menyapu halaman, menimba air di bak mandi dan membantu ibunya memasak, sekaligus menyiapkan sarapan pagi. Kedua
anaknya tidak manja, rajin belajar, sekalipun mereka lebih sering tidak mendapat
uang saku.
Setelah
Dale mengantarkan
kedua anaknya ke sekolah,
ia mendapati istrinya
sedang menangis. Dale duduk di sampingnya.
“Ada
apa?” Tanya Dale sambil memegang kedua pundaknya.
“Samin
Pak, barusan dia ke
sini menagih hutang kita yang sudah beberapa bulan telat. Kalau tidak mencicil
mulai hari ini dia akan melaporkan ke polisi,” ucapannya terbata-bata disertai
suara tangis yang menderu.
“Sstt..,
sabar ya! Sekarang Bapak
punya janji untuk menjualkan hewan milik temanku di luar kota. Doakan lancar
dan selamat ya?” Istrinya hanya mengangguk. Dale
memeluk istrinya. Pelukan hangat Dale mampu meredam tangis dan kepanikan
istrinya.
Dale
pamit pada istrinya untuk menemui rekan bisnisnya di luar kota. Sebelum
berangkat, ia didatangi tamu dengan mobil mewah. Seorang yang gagah, kumisnya
tebal berwarna putih. Ia bersama dua orang pengawal berseragam seperti satpol
PP.
“Pak
Dale kan?”
Dale
kaget, ia seperti melihat orang ini saat melakukan transaksi tadi malam.
“Be...benar,
anda siapa?” Dale tergagap.
“Waduh,
sudah lupa ya? Aku Supri, teman SD.”
Dale
mulai menatap lekat-lekat dan mengingat tamunya itu.
“Masyaallah, aku lupa. Kamu Sup? Bukankah
kamu tinggal di luar kota?” Dale menjabat tangan Supri yang sudah lama tidak
berjumpa.
“Sekarang
aku kembali ke kota ini. Aku mencari tanah baru di sekitar sini untuk rumah
baruku.”
“Oh
begitu, biar nanti aku bantu.”
“Tidak usah! Ini sudah ada kedua pengawalku. Kalau
kamu tidak sibuk, aku ke sini sebenarnya untuk mengajakmu kerja di CV baruku.
Aku butuh banyak tenaga.”
“Wah,
dengan senang hati. Aku bersedia, Sup.”
“Aku
pergi dulu. Kita lanjut obrolannya nanti di rumah kontrakku, tapi agak jauh, ini uang untuk transport, sisanya buat kebutuhan
keluargamu. Nanti sore, aku tunggu kedatanganmu!” Ucap Supri sambil menjulurkan uang
dalam amplop dan kartu nama.
Dale
begitu senang mendengar tawaran dari teman kecilnya yang sudah 20 tahun tidak bertemu. Ia memeluk Supri
untuk melepas rasa rindu yang disertai ucapan terima kasih. Supri beranjak Pergi.
Sementara membatalkan niatnya untuk ke luar kota. Lalu, ia bercerita pada
istrinya. Seperti ada tetes harapan dan kebahagian yang mulai menyapa pada
kehidupan keluarga Dale.
“Terima
kasih, Tuhan,” hati Dale menggumam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar